Rabu, 30 Oktober 2013

Inflammatory Bowel Disease 2013

Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan Inflammatory Bowel Disease


Inflammatory bowel disease (IBD) menggambarkan kondisi peradangan saluran cerna kronik dan idiopatik. Secara umum dibagi atas kolitis ulseratif (KU), penyakit Crohn (PC) dan IBD type unclassified (IBDU, dulu dikenal sebagai indeterminate colitis).

Etiopatogenesis IBD belum sepenuhnya dimengerti. Faktor genetik dan lingkungan dalam saluran cerna seperti perubahan bakteri usus dan peningkatan permeabilitas epitel saluran cerna diduga berperan dalam gangguan imunitas saluran cerna yang berujung pada kerusakan saluran cerna.

Penyebab
Hingga saat ini, etiologi pasti IBD belum sepenuhnya dimengerti. Banyak teori diajukan namun belum ada kausa tunggal yang diketahui sebagai penyebab IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah peranan mediasi
imunologi pada individu yang memang rentan secara genetis. IBD diyakini merupakan hasil respons imun yang menyimpang dan berkurangnya toleransi pada flora normal usus yang berakibat terjadinya inflamasi kronik pada usus.

Secara umum, diperkirakan bahwa proses patogenesis IBD diawali adanya infeksi, toksin, produk bakteri atau diet intralumen kolon pada individu rentan dan dipengaruhi oleh faktor genetis, defek imun, lingkungan sehingga terjadi kaskade proses inflamasi pada dinding usus.

Banyak mediator inflamasi telah dikenali dalam patogenesis IBD. Sitokin yang dilepaskan oleh makrofag sebagai respons terhadap berbagai stimulus antigenik akan berikatan dengan beragam reseptor dan menghasilkan efek autokrin, parakrin, dan endokrin. Sitokin mengubah limfosit menjadi sel T dimana sel T helper-1 (Th-1) berperan dalam patogenesis PC dan sel T-helper 2 (Th-2) berperan dalam KU. Respons imun ini akhirnya akan merusak mukosa saluran cerna dan memicu terjadinya kaskade proses inflamasi kronik.

Pada KU, proses peradangan dimulai di rektum dan meluas ke proksimal secara kontinu sehingga secara umum dapat melibatkan seluruh bagian kolon. Lesi biasanya hanya melibatkan lapisan mukosa dan submukosa usus. Inflamasi hampir tidak pernah terjadi di daerah usus halus kecuali jika di ileum terminalis juga terdapat peradangan. Keterlibatan rektum hampir selalu terjadi pada KU, tidak adanya skip area yakni area normal di antara daerah lesi menjadi penanda khas KU sehingga dapat dijadikan pembeda dengan PC.

Pada PC, peradangan dapat melibatkan seluruh mukosa saluran cerna dimulai dari mulut hingga ke anus dengan tiga bentuk pola umum yang khas yakni adanya peradangan, striktur, dan fi stula. Berbeda dengan KU, lesi pada PC tidak hanya melibatkan mukosa dan submukosa namun juga dapat transmural. Hal ini menjadi penanda patologis yang khas untuk PC. Selain itu, lesi pada PC bersifat diskontinu sehingga akan ditemukan skip area.

Gambaran Klinis

Secara umum, keluhan IBD berupa diare kronik dengan atau tanpa darah, dan nyeri perut. Selain itu, kerap dijumpai manifestasi di luar saluran cerna (ekstraintestinal), seperti artritis, uveitis, pioderma gangrenosum, eritema nodosum, dan kolangitis. Sedangkan secara sistemik, dapat dijumpai gambaran sebagai dampak keadaan patologis yang ada seperti anemi, demam, gangguan nutrisi. Satu hal yang penting diingat adalah pola perjalanan klinis IBD bersifat kronik-eksaserbasi-remisi atau secara umum ditandai oleh fase aktif dan
fase remisi.

Pemahaman atas proses inflamasi yang terjadi pada patogenesis IBD akan membantu kita mengenali gambaran klinis untuk masing-masing entitas IBD. Misalnya kita akan menemui keluhan yang lebih seragam
pada KU dibandingkan PC karena distribusi anatomis saluran cerna yang terlibat pada KU adalah kolon sedangkan pada PC lebih bervariasi.

Penatalaksanaan IBD

Penatalaksanaan IBD dilakukan melalui tiga macam pendekatan, yakni rencana diagnostik, rencana terapeutik, dan rencana edukasional.

Rencana Diagnostik Pemeriksaan Serologik untuk Penanda IBD

Umumnya yang digunakan adalah parameter penanda infl amasi secara umum seperti laju endap darah (LED) atau C-reactive protein (CRP). Pada PC, kadar CRP serum berkorelasi positif dengan aktivitas penyakit dan dengan penanda infl amasi lainnya sesuai dengan indeks aktivitas PC. Peningkatan kadar CRP > 45mg/L pada pasien IBD dapat membantu klinisi untuk mengambil keputusan perlunya dilakukan kolektomi. Dikatakan pemeriksaan kultur tinja dapat membantu penentuan apakah peradangan disebabkan oleh infeksi atau non-infeksi.

Pemeriksaan endoskopi berperan sangat penting dalam penegakan diagnosis sekaligus terapi IBD dengan akurasi diagnostik berkisar 89%.4 Umumnya, pemeriksaan endoskopi diikuti dengan pemeriksaan histopatologi sediaan biopsi. Pemeriksaan lain seperti pencitraan dengan kontras ganda dapat dilakukan sebagai alat konfi rmasi endoskopi.

Rencana Terapeutik

Fokus utama rencana Terapeutik adalah upaya penghambatan kaskade proses inflamasi jika tidak dapat dihilangkan sama sekali. Secara umum, prinsip terapi IBD adalah
(1) mengobati peradangan aktif IBD dengan cepat hingga tercapai remisi;
(2) mencegah peradangan berulang dengan mempertahankan remisi selama mungkin; dan
(3) mengobati serta mencegah komplikasi.

Sayang tidak semua lini kesehatan memiliki fasilitas endoskopi sehingga diperlukan suatu algoritma penatalaksanaan terutama pada lini kesehatan primer (gambar 2 dan 3). Tindakan bedah dipertimbangkan pada tahap terakhir jika medikamentosa gagal atau jika terjadi komplikasi yang tidak teratasi misalnya perforasi usus, perdarahan persisten, stenosis usus fi brotik, obstruksi, degenerasi maligna ataupun megakolon toksik yang sering terjadi pada KU.





Pengobatan Umum
Pemberian antibiotik misalnya metronidazole dosis terbagi 1500 – 3000 mg per hari dikatakan cukup bermanfaat menurunkan derajat aktivitas penyakit, terutama PC. Sedangkan untuk KU, jarang diberi terapi antibiotik. Antibiotik diberikan dengan latar belakang bahwa salah satu agen proinfl amasi disebabkan oleh bakteri intraluminal. Sebagian besar bakteri intraluminal bersifat komensal dan tidak menginduksi reaksi infl amasi namun mereka masih mampu memengaruhi respons imun dan menginduksi sel epitel intestinal untuk menekan kemotaksis, menurunkan ekspresi sitokin proinfl amasi dan meningkatkan produksi interleukin 10.
Interaksi antara bakteri pejamu ini dikenal dengan istilah disbiosis. Pemberian probiotik seperti laktobasilus berperan dalam upaya mencapai kondisi 85% remisi klinis dan endoskopis pada pasien pasca kolektomi.

Pengobatan Radang Aktif
Dua golongan obat yang dikenal luas untuk mengobati radang aktif IBD bertujuan menginduksi remisi secepat mungkin adalah kortikosteroid dan asam amino salisilat.

Kortikosteroid
Hingga saat ini, obat golongan glukokortikoid masih merupakan obat pilihan untuk IBD derajat sedang dan berat dalam fase peradangan aktif. Pemilihan obat steroid konvensional, seperti prednison, metilprednisolon ataupun steroid enema, masih menjadi primadona karena harga yang murah dan ketersediaan yang luas. Dosis umumnya adalah setara 40 – 60 mg prednison. Namun, jangan dilupakan efek sistemik obat-obatan ini. Idealnya, dicapai kadar steroid yang tinggi pada dinding usus namun dengan efek sistemik yang rendah. Umumnya, preparat yang digunakan dewasa ini adalah budesonid. Remisi biasanya tercapai dalam waktu 8 – 12 minggu yang kemudian diikuti dengan penurunan dosis (tapering down) yakni sekitar 10 mg per minggu hingga tercapai dosis 40 mg atau 5 mg per minggu hingga tercapai 20 mg. Kemudian dosis ditapering off 2.5 mg per minggu.

Asam Aminosalisilat
Preparat 5-asam aminosalisilat (5-ASA) atau mesalazine saat ini lebih disukai dari preparat sulfasalazin karena efek sampingnya lebih kecil meski efektivitasnya relatif sama. Di Indonesia, sulfasalazin dipasarkan dalam bentuk sediaan tablet 250 mg dan 500 mg, enema 4 g/60 mL, serta supositoria 500 mg. Dosis rerata untuk mencapai remisi adalah 2 – 4 gram per hari meski ada kepustakaan yang menyebutkan
penggunaan 5-ASA ini minimal 3 gram per hari. Umumnya remisi tercapai dalam 16 – 24 minggu yang kemudian diikuti dengan dosis pemeliharaan. Dosis pemeliharaan 1,5 – 3 gram per hari. Untuk kasus-kasus usus bagian kiri atau distal, dapat diberikan mesalazin supositoria atau enema, sedangkan untuk kasus berat, biasanya tidak cukup hanya dengan menggunakan preparat 5-ASA.

Imunomodulator
Azatioprin dan 6-merkaptopurin, siklosporin, dan metotreksat merupakan beberapa jenis obat kelompok imunomodulator. Dosis inisial azatrioprin 50 mg diberikan hingga tercapai efek substitusi lalu dinaikkan bertahap 2.5 mg per kgBB. Umumnya, efek terapeutik baru tercapai dalam 2 – 3 bulan. Efek samping yang
sering dilaporkan adalah nausea, dispepsia, leukopeni, limfoma, hepatitis hingga pankreatitis.

Siklosporin intravena diketahui dapat bermanfaat untuk kasus akut KU refrakter steroid dengan angka keberhasilan 50 – 80%. Efek samping yang sering dilaporkan meliputi gangguan ginjal dan infeksi oportunistik. Sedangkan metotreksat dikenal sebagai preparat yang efektif untuk kasus PC steroid dependent sekaligus untuk mempertahankan remisi pada KU. Dosis induksi 25 mg intramuskular atau subkutan per minggu hingga selesai tapering off steroid.



DAFTAR PUSTAKA
1. Kuhbacher T, Folsch UR. Practical guidelines for the treatment of inflammatory bowel disease. World J Gastroenterol 2007; 13(8): 1149 – 55.
2. Sands BE. New therapies for the treatment of infl ammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2006; 86: 1045–64.
3. Bernstein CN, Fried M, Krabshuis JH, Cohen H, Eliakim R, Fedail S, et al. World gastroenterology organization practice guidelines for the diagnosis and management of IBD in 2010. Infl amm
Bowel Dis 2010; 16(1): 112-24.
4. Kelompok Studi Infl ammatory Bowel Disease Indonesia. Konsensus nasional penatalaksanaan infl ammatory bowel disease (IBD) di Indonesia. Jakarta: Perkumpulan Gastroenterologi
Indonesia 2011.
5. Tamboli CP. Current medical therapy for chronic infl ammatory bowel disease. Surg Clin N Am 2007; 87: 697 – 725.
6. Loftus EV Jr, Silverstein MD, Sandborn WJ, Tremaine WJ, Harmsen WS, Zinsmeister AR. Ulcerative colitis in Olmsted County, Minnesota, 1940-1993: incidence, prevalence, and survival. Gut
2000; 46(3): 336-43.
7. Bossuyt X. Serologic markers in infl ammatory bowel disease. Clinical Chem 2006;52(2):171-81.
8. Bengston MB, Solberg IC, Aamodt G, Jahnsen J, Moum B, Vatn MH. Relationships between infl ammatory bowel disease and perinatal factors: both maternal and paternal disease are
related to preterm birth off spring. Infl amm Bowel Dis 2010; 16(5): 847-55.
9. Rowe WA, Katz J. Infl ammatory bowel disease. [disitasi tanggal 18 April 2012]. Tersedia pada http://www.medscape.com
10. Bartlett AH, Hayashida K, Park PW. Molecular and cellular mechanisms of syndecans in tissue injury and infl ammation. Moll Cells 2007;24(2):153-66.
11. Floer M, Gotte M, Wild MK, et al. Enoxaparin improves the course of dextran sodium sufate-induced colitis in syndecan-1-defi cient mice. Am J Path. 2010;176(1):146-57.
12. Day R, Ilyas M, Daszak P, Talbot I, Forbes A. Expression of syndecan-1 in infl ammatory bowel disease and a possible mechanism of heparin therapy. Dig Dis Sci. 1999;44:2508-15.
13. Mokrowiecka A, Daniel P, Slomka M, Majak P, Malecka-Panase E. Clinical utility of serological markers in infl ammatory bowel disease. Hepatogastroenterology. 2009;56(89):162-6.
14. Haller D, Serrant P, Peruisseau G. Il-10 producing CD14 low monocytes by commensal bacteria. Microbiol Immunol 2002;46:195–205.
15. Gionchetti P, Rizzello F, Venturi A, et al. Oral bacteriotherapy as maintenance treatment in patients with chronic pouchitis: a double-blind, placebo-controlled trial. Gastroenterology.
2000;119:305–9.
16. Mimura T, Rizzello G, Helwig U, et al. Once daily high dose probiotic therapy (VSL#3) for maintaining remission in recurrent or refractory pouchitis. Gut. 2004;53:108–14.
17. Ito H, Takazoe M, Fukuda Y, et al. A pilot randomized trial of a human anti-interleukin-6 receptor monoclonal antibody in active Crohn’s disease. Gastroenterology. 2004;126(4):989–96.
Read More >>
 
@2012 linkcure.blogspot.com | Template by Agus Ramadhani | Modified and Enhanced by Zulkifli Hasan
Sponsored by ketikweb.blogspot.com